RESUME JURNAL
“EKSTRAKSI KOMPONEN BIOAKTIF DARI LIMBAH KULIT
BUAH KAKAO DAN PENGARUHNYA TERHADAP AKTIVITAS
ANTIOKSIDAN DAN ANTIMIKROBA ”
Disusun:
10 Maret 2012
Oleh:
YENI NUR CAHYANI
112210101033
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS JEMBER
2011-2012
RESUME
JURNAL
Judul : EKSTRAKSI
KOMPONEN BIOAKTIF DARI LIMBAH KULIT BUAH
KAKAO DAN PENGARUHNYA TERHADAP
AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DAN ANTIMIKROBA
Penulis : SARTINI ,
M. NATSIR DJIDE, GEMINI ALAM
Indonesia kaya
akan tanaman. Salah satunya adalah tanaman pangan. Beberapa tanaman pangan
diketahui kaya akan senyawa-senyawa bioaktif, terutama polifenol, yang
mempunyai khasiat sebagai antioksidan dan antimikroba. Senyawa-senyawa
antioksidan alami sangat dibutuhkan untuk mencegah penyakit-penyakit
degeneratif seperti penyakit jantung koroner, kanker, dan beberapa penyakit
yang lainnya. Senyawa-senyawa antimikroba demikian ada akibat makin banyaknya
mikroba patogen yang telah resisten dengan antibiotika yang ada. Tanaman kakao (Theobroma cacao L.) merupaka salah satu
tanaman di Indonesia yang berpotensi sebagai antioksidan dan antimikroba alami.
Biji kakao kaya akan komponen-komponen senyawa fenolik, antara lain: katekin,
epikatekin, proantosianidin, asam fenolat, tannin dan flavonoid lainnya. Biji
kakao mempunyai potensi sebagai bahan antioksidan alami, antara lain: mempunyai
kemampuan untuk memodulasi system immun, efek kemopreventif untuk pencegahan
penyakit jantung koroner dan kanker (Othman et
al, 2007; Weisburger, 2001; Keen, 2005). Selain itu polifenol kakao bersifat
antimikroba terhadap beberapa bakteri patogen dan bakteri kariogenik (
Osawa et al, 2000; Bouchers, 2002; Lamuela-Raventos, 2005). Kakao juga
mempunyai kapasitas antioksidan lebih tinggi dibanding teh dan anggur merah
(Lee et al, 2003). Di samping menghasilkan
biji, dalam proses penanganannya juga menghasilkan produk ikutan (limbah)
berupa kulit buah kakao sebesar kurang lebih 73,77% dari berat buah secara
keseluruhan. Adanya komponen-komponen polifenol dalam biji kakao, tidak menutup
kemungkinan juga terdapat dalam kulit buah kakao dengan khasiat yang sama.
Menurut Figuera et al (1993), kulit buah kakao mengandung campuran
flavonoid atau tannin terkondensasi atau terpolimerisasi, seperti antosianidin,
katekin, leukoantosianidin yang kadang-kadang terikat dengan glukosa. Tannin
yang terikat dengan gula umumnya mudah larut dalam pelarut hidroalkohol,
sedangkan tannin terkondensasi atau tannin lebih mudah terekstraksi dengan pelarut
aseton 70 % (Anonim, 2007). Permasalahannya yaitu mencari kondisi ekstraksi
yang paling optimal untuk mengekstraksi komponen antioksidan dan antibakteri
dari limbah kulit buah kakao. Untuk itu dilakukan ekstraksi menggunakan 2 macam
kulit buah kakao (segar dan kering ) dan 2 macam pelarut (etanol 70 % dan
campuran aseton–air (7:3). Etanol 70 % diasumsikan dapat mengekstraksi
senyawa-senyawa flavonoid atau tanin yang terikat sebagai glikosida. Sedangkan
pelarut aseton-air (7:3) sangat baik untuk mengekstraksi tannin terkondensasi
(Anonim, 2007). Uji aktivitas antioksidan dilakukan dengan metode DPPH dan uji
antibakteri dilakukan dengan metode difusi agar. Selanjutnya bahannya yaitu kulit
buah kakao jenis lindak (Forastero) asal kabupaten Soppeng, 2,2-diphenyl-2-picrylhydrazyl/DPPH
(Sigma), aseton (teknis), etanol (teknis), etanol absolute (e-Merck), aquadest, Nutrien agar , Muller Hilton
Agar, paper disc (Oxoid), Dimetil sulfoksida (e-Merck),
mikroba uji Staphylococcus aureus, Streptococcus mutan, Escherichia coli, Salmonella thyposa (koleksi
laboratorium Mikrobiologi Farmasi UNHAS).
Pada
penelitian ini, metode kerja yang digunakan ada 4, yang pertama adalah
pengolahan sampel. Buah kakao yang diambil yang sudah masak, ditandai dengan
mulai menguningnya buah pada saat dipetik. Sebelum dilakukan pengolahan, buah
yang sudah dipetik dibiarkan dahulu selama kurang lebih 5 hari untuk memudahkan
lepasnya biji dari kulit buahnya. Sebagian kulit buah kakao dalam bentuk segar
ditumbuk kasar menggunakan lumpang batu. Sebagian dikeringkan di bawah sinar matahari dan setelah kering ditumbuk kasar.
Selanjutnya
metode kedua yaitu Ekstraksi Kulit buah Kakao secara maserasi. Masing-masing
sampel kulit buah kakao 1 kg diremaserasi sebanyak 3 kali menggunakan Aseton: air (7:3) dan etanol 70 %
dengan perbandingan sampel- pelarut (1 :
2) untuk
sampel basah, dan (1: 3) untuk
sampel kering. Setelah ekstraksi kulit buah kakao secara meresai selesai,
dilanjutkan tahap yang ketiga yaitu uji aktivitas antioksidan. Uji aktivitas
antioksidan dilakukan dengan metode DDPH seperti yang dilakukan oleh Othman et al., (2007) yang dimodifikasi, yaitu dibuat
larutan uji dengan konsentrasi5 mg/ml; 1,25 mg/l; 0,5 mg/l; 0,1 mg/l; dan 0,01
mg/l dalam etanol absolut. Sebanyak 100 l larutan uji ditambahkan 1,0ml
larutan DPPH 0,4 mM dan etanol hingga 5ml. Campuran selanjutnya divortex dan dibiarkan
selama 30 menit. Larutan ini selanjutnya diukur absorbansinya pada panjang
gelombang 517 nm. Dilakukan juga pengukuran
absorbansi blanko. Hasil penetapan antioksidan dibandingkan dengan vitamin C.
Besarnya daya antioksidan dihitung dengan umus :
% penghambatan
= (Absorbance blanko – Absorbance sampel) x 100 %
Absorbance blanko
IC50 dihitung dengan dengan memplot
grafik aktivitas scavenging dengan konsentrasi ekstrak, yang didefinisikan
sebagai total antioksidan yang dibutuhkan untuk menurunkan konsentrasi DPPH
sampai 50 %.
Tahap
terakhir yaitu uji aktivitas Antibakteri. Uji aktivitas antibakteri dilakukan dengan
metode difusi agar, seperti yang dilakukan oleh Nostro et al (2000) yang dimodifikasi, yaitu: masing-masing ekstrak yang diperoleh sebanyak 2 g dilarutkan dalam
dimetilsulfooksida (DMSO) hingga 10 ml. Dari larutan stok dibuat pengenceran bertingkat dengan
konsentrasi 20%, 10%, 5%, 2,5%, 1,25%. Masing-masing larutan uji dipipet 5 l
diteteskan ke paper disc, kemudian diletakkan di atas media Muller Hilton Agar
yang telah mengandung mikroba uji 0,1 ml
transmitan 25 % atau setara dengan 108 koloni/ml. Setelah itu
diinkubasi selama 24 jam suhu 37OC.
Pada ekstrak
dari kulit buah kakao kering, baik ekstrak etanol maupun ekstrak aseton tidak memperlihatkan
adanya aktivitas antioksidan. Sedangkan pada ekstrak dari kulit buah kakao segar,
baik ekstrak etanol maupun asetonnya memperlihatkan aktivitas antioksidan. Tidak
adanya aktivitas antioksidan dari kulit buah kakao yang dikeringkan dikarenakan
selama pengeringan komponen-komponen polifenolnya kemungkinan mengalami
oksidasi oleh enzim polifenol oksidase yang juga terdapat pada buah kakao.
Hasilnya terlihat bahwa ekstrak
aseton absorbannya lebih kecil debandingkan absorban pada ekstrak etanol pada
setiap konsentrasi. Sebaliknya, pada
aktivitas pengikatan DPPH dalam persen ekstrak aseton memiliki
presentase yang lebih besar dibandingkan ekstrak etanol pada masing – masing
konsentrasi yang diberikan. Selain itu,
penambahan konsentrasi mg/ml akan menurunkan absorban dan meningkatkan aktivitas pengikatan DPPH (%) yang ada pada
masing masing absorban (ekstrak aseton dan ekstrak etanol). Sebagai pembanding digunakan
asam askorbat (vitamin C) yang diketahui mempunyai aktivitas antioksidan. Hasil pengukuran
serapan DPPH setelah perlakuan dengan vitamin C didapat bahwa aktivitas
pengikatan DPPH jauh lebih besar presentase dibandingkan perlakuan dengan
ekstrak kulit buah kakao segar.
Dari
hasil penelitian, terlihat bahwa aktivitas antioksidan dari ekstrak aseton lebih
tinggi dibandingkan ekstrak etanol. Menurut
Figuera (1993), kulit buah kakao mengandung campuran flavonoid/tannin terkondensasi
atau terpolimerisasi, seperti antosianidin, katekin, leukoantosianidin yang
kadang-kadang terikat dengan glukosa. Pelarut aseton-air (7:3) optimal
mengekstraksi tannin terkondensasi (Anonim, 2007). Dari hasil pengukuran
aktivitas antioksidan menggunakan metode DPPH kemudian dilakukan perhitungan
dengan menggunakan analisis probit. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa
aktivitas antioksidan dari ekstrak aseton (IC50
= 0,08mg/ml) lebih tinggi dari ekstrak etanol (IC50 = 0,48 mg/ ml) maupun vitamin C (IC50 = 0,15 mg/ml).
Hasil uji aktivitas antibakteri menunjukkan bahwa
ekstrak aseton dari kulit buah kakao kering
tidak memberikan aktivitas antibakteri.
Sedangkan pada ekstrak aseton buah kakao segar memberikan aktivitas antibakteri
mulai pada konsentrasi 5 % (250µg/disc),
10% (500 µg/disc), dan 20 % (1000 µg/disc ). Sedangkan ekstrak etanol dari sampel
segar mampu menghambat pada konsentrasi
20 % (1000 µg/disc), Sedangkan ekstrak etanol sampel kering mampu menghambat
dimulai pada konsentrasi 5 % (250 µg/disc).
Dari penelitian juga terlihat aktivitas antibakteri
dari ekstrak etanol sampel basah lebih kecil dibanding ekstrak etanol sampel kering,
hal ini mungkin disebabkan oleh adanya senyawa pektin yang ikut terekstraksi menggunakan
sampel kulit buah kakao segar. Senyawa pektin dapat terekstraksi pada larutan etanol
di bawah 70 %, sedangkan kadar air pada sampel segar tidak diketahui. Dari
empat bakteri uji yang digunakan ternyata Streptococcus
mutan yang paling sensitif terhadap senyawa antibakteri dalam kulit buah kakao,
hal ini sesuai penelitian Pasiga (2006) dan Matsumoto et al., (2004) bahwa ekstrak kulit buah kakao mempunyai aktivitas antibakteri
terhadap Streptococcus mutan secara in
vitro maupun in vivo. Bakteri ini merupakan penyebab terjadinya karies gigi.
Dari penelitiaan
tersebut dapat diketahui bahwa kondisi optimal untuk mengekstraksi komponen
antioksidan-antimikroba dari kulit buah kakao adalah menggunakan bahan segar dan
dengan cairan pengekstraksi aseton-air (7:3). Ekstrak aseton kulit buah kakao
segar memiliki aktivitas antioksidan dengan IC50 0,08mg/ ml dan aktivitas
antibakteri terhadap S. mutan dengan
diametr hambatan 10,2 mm pada konsentrasi 1000 µg per disc.
DAFTAR PUSTAKA
Sartini, Djide, N., Gemini. 2011. Ekstraksi
Komponen Bioaktif dari Limbah Kulit Buah
Kakao dan Pengaruhnya Terhadap Aktivitas Antioksidan dan Antimikroba. Fakultas Farmasi, Universitas
Hasanuddin. Makassar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar