Rabu, 25 April 2012



RESUME JURNAL
“EKSTRAKSI KOMPONEN BIOAKTIF DARI LIMBAH KULIT BUAH  KAKAO  DAN PENGARUHNYA TERHADAP AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DAN ANTIMIKROBA

Disusun:
10 Maret 2012

Oleh:
YENI NUR CAHYANI
112210101033



FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS JEMBER
2011-2012

RESUME JURNAL
Judul     :  EKSTRAKSI KOMPONEN BIOAKTIF DARI LIMBAH KULIT BUAH  KAKAO  DAN PENGARUHNYA TERHADAP AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DAN ANTIMIKROBA
Penulis :   SARTINI , M. NATSIR DJIDE, GEMINI ALAM

Indonesia kaya akan tanaman. Salah satunya adalah tanaman pangan. Beberapa tanaman pangan diketahui kaya akan senyawa-senyawa bioaktif, terutama polifenol, yang mempunyai khasiat sebagai antioksidan dan antimikroba. Senyawa-senyawa antioksidan alami sangat dibutuhkan untuk mencegah penyakit-penyakit degeneratif seperti penyakit jantung koroner, kanker, dan beberapa penyakit yang lainnya. Senyawa-senyawa antimikroba demikian ada akibat makin banyaknya mikroba patogen yang telah resisten dengan antibiotika yang ada. Tanaman kakao (Theobroma cacao L.) merupaka salah satu tanaman di Indonesia yang berpotensi sebagai antioksidan dan antimikroba alami. Biji kakao kaya akan komponen-komponen senyawa fenolik, antara lain: katekin, epikatekin, proantosianidin, asam fenolat, tannin dan flavonoid lainnya. Biji kakao mempunyai potensi sebagai bahan antioksidan alami, antara lain: mempunyai kemampuan untuk memodulasi system immun, efek kemopreventif untuk pencegahan penyakit jantung koroner dan kanker (Othman et al, 2007; Weisburger, 2001; Keen, 2005). Selain itu polifenol kakao bersifat antimikroba terhadap beberapa bakteri patogen dan bakteri kariogenik ( Osawa  et al, 2000; Bouchers, 2002; Lamuela-Raventos, 2005). Kakao juga mempunyai kapasitas antioksidan lebih tinggi dibanding teh dan anggur merah (Lee et al, 2003). Di samping menghasilkan biji, dalam proses penanganannya juga menghasilkan produk ikutan (limbah) berupa kulit buah kakao sebesar kurang lebih 73,77% dari berat buah secara keseluruhan. Adanya komponen-komponen polifenol dalam biji kakao, tidak menutup kemungkinan juga terdapat dalam kulit buah kakao dengan khasiat yang sama. Menurut  Figuera  et al  (1993), kulit buah kakao mengandung campuran flavonoid atau tannin terkondensasi atau terpolimerisasi, seperti antosianidin, katekin, leukoantosianidin yang kadang-kadang terikat dengan glukosa. Tannin yang terikat dengan gula umumnya mudah larut dalam pelarut hidroalkohol, sedangkan tannin terkondensasi atau tannin lebih mudah terekstraksi dengan pelarut aseton 70 % (Anonim, 2007). Permasalahannya yaitu mencari kondisi ekstraksi yang paling optimal untuk mengekstraksi komponen antioksidan dan antibakteri dari limbah kulit buah kakao. Untuk itu dilakukan ekstraksi menggunakan 2 macam kulit buah kakao (segar dan kering ) dan 2 macam pelarut (etanol 70 % dan campuran aseton–air (7:3). Etanol 70 % diasumsikan dapat mengekstraksi senyawa-senyawa flavonoid atau tanin yang terikat sebagai glikosida. Sedangkan pelarut aseton-air (7:3) sangat baik untuk mengekstraksi tannin terkondensasi (Anonim, 2007). Uji aktivitas antioksidan dilakukan dengan metode DPPH dan uji antibakteri dilakukan dengan metode difusi agar. Selanjutnya bahannya yaitu kulit buah kakao jenis lindak (Forastero) asal kabupaten Soppeng, 2,2-diphenyl-2-picrylhydrazyl/DPPH (Sigma), aseton (teknis), etanol (teknis), etanol absolute (e-Merck),  aquadest, Nutrien agar , Muller Hilton Agar,  paper disc  (Oxoid), Dimetil sulfoksida (e-Merck), mikroba uji Staphylococcus aureus, Streptococcus mutan, Escherichia coli, Salmonella thyposa  (koleksi laboratorium Mikrobiologi Farmasi UNHAS).
Pada penelitian ini, metode kerja yang digunakan ada 4, yang pertama adalah pengolahan sampel. Buah kakao yang diambil yang sudah masak, ditandai dengan mulai menguningnya buah pada saat dipetik. Sebelum dilakukan pengolahan, buah yang sudah dipetik dibiarkan dahulu selama kurang lebih 5 hari untuk memudahkan lepasnya biji dari kulit buahnya. Sebagian kulit buah kakao dalam bentuk segar ditumbuk kasar menggunakan lumpang batu. Sebagian dikeringkan di bawah  sinar matahari dan setelah kering ditumbuk kasar.
            Selanjutnya metode kedua yaitu Ekstraksi Kulit buah Kakao secara maserasi. Masing-masing sampel kulit buah kakao 1 kg diremaserasi sebanyak 3 kali  menggunakan Aseton: air (7:3) dan etanol 70 %  dengan perbandingan sampel- pelarut (1 : 2)  untuk  sampel basah, dan  (1: 3) untuk sampel kering. Setelah ekstraksi kulit buah kakao secara meresai selesai, dilanjutkan tahap yang ketiga yaitu uji aktivitas antioksidan. Uji aktivitas antioksidan dilakukan dengan metode DDPH seperti yang dilakukan oleh Othman et al., (2007) yang dimodifikasi, yaitu dibuat larutan uji dengan konsentrasi5 mg/ml; 1,25 mg/l; 0,5 mg/l; 0,1 mg/l; dan 0,01 mg/l dalam etanol absolut. Sebanyak 100 ­l larutan uji ditambahkan 1,0ml larutan DPPH 0,4 mM dan etanol hingga 5ml. Campuran selanjutnya divortex dan dibiarkan selama 30 menit. Larutan ini selanjutnya diukur absorbansinya pada panjang gelombang 517  nm. Dilakukan juga pengukuran absorbansi blanko. Hasil penetapan antioksidan dibandingkan dengan vitamin C. Besarnya daya antioksidan dihitung dengan umus :
% penghambatan = (Absorbance blanko – Absorbance sampel) x 100 %
                                                 Absorbance blanko 
IC50 dihitung dengan dengan memplot grafik aktivitas scavenging dengan konsentrasi ekstrak, yang didefinisikan sebagai total antioksidan yang dibutuhkan untuk menurunkan konsentrasi DPPH sampai 50 %.
            Tahap terakhir yaitu uji aktivitas Antibakteri. Uji aktivitas antibakteri dilakukan dengan metode difusi agar, seperti yang dilakukan oleh Nostro et al (2000) yang dimodifikasi, yaitu: masing-masing ekstrak  yang diperoleh sebanyak 2 g dilarutkan dalam dimetilsulfooksida (DMSO) hingga 10 ml. Dari larutan stok  dibuat pengenceran bertingkat dengan konsentrasi 20%, 10%, 5%, 2,5%, 1,25%. Masing-masing larutan uji dipipet 5 ­l diteteskan ke paper disc, kemudian diletakkan di atas media Muller Hilton Agar yang telah mengandung mikroba uji  0,1 ml transmitan 25 % atau setara dengan 108 koloni/ml. Setelah itu diinkubasi selama 24 jam suhu 37OC.
Pada ekstrak dari kulit buah kakao kering, baik ekstrak etanol maupun ekstrak aseton tidak memperlihatkan adanya aktivitas antioksidan. Sedangkan pada ekstrak dari kulit buah kakao segar, baik ekstrak etanol maupun asetonnya memperlihatkan aktivitas antioksidan. Tidak adanya aktivitas antioksidan dari kulit buah kakao yang dikeringkan dikarenakan selama pengeringan komponen-komponen polifenolnya kemungkinan mengalami oksidasi oleh enzim polifenol oksidase yang juga terdapat pada buah kakao. Hasilnya terlihat bahwa ekstrak aseton absorbannya lebih kecil debandingkan absorban pada ekstrak etanol pada setiap konsentrasi. Sebaliknya, pada  aktivitas pengikatan DPPH dalam persen ekstrak aseton memiliki presentase yang lebih besar dibandingkan ekstrak etanol pada masing – masing konsentrasi yang diberikan.  Selain itu, penambahan konsentrasi mg/ml akan menurunkan absorban dan meningkatkan  aktivitas pengikatan DPPH (%) yang ada pada masing masing absorban (ekstrak aseton dan ekstrak etanol). Sebagai pembanding digunakan asam askorbat (vitamin C) yang diketahui mempunyai  aktivitas antioksidan. Hasil pengukuran serapan DPPH setelah perlakuan dengan vitamin C didapat bahwa aktivitas pengikatan DPPH jauh lebih besar presentase dibandingkan perlakuan dengan ekstrak kulit buah kakao segar.
            Dari hasil penelitian, terlihat bahwa aktivitas antioksidan dari ekstrak aseton lebih tinggi dibandingkan ekstrak etanol.  Menurut Figuera (1993), kulit buah kakao mengandung campuran flavonoid/tannin terkondensasi atau terpolimerisasi, seperti antosianidin, katekin, leukoantosianidin yang kadang-kadang terikat dengan glukosa. Pelarut aseton-air (7:3) optimal mengekstraksi tannin terkondensasi (Anonim, 2007). Dari hasil pengukuran aktivitas antioksidan menggunakan metode DPPH kemudian dilakukan perhitungan dengan menggunakan analisis probit. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa aktivitas antioksidan dari ekstrak  aseton  (IC50  = 0,08mg/ml) lebih tinggi dari ekstrak etanol (IC50 = 0,48  mg/ ml) maupun  vitamin C (IC50 = 0,15 mg/ml).  
               Hasil uji aktivitas antibakteri menunjukkan bahwa ekstrak aseton dari kulit buah kakao kering  tidak memberikan aktivitas antibakteri.  Sedangkan pada ekstrak aseton buah kakao segar memberikan aktivitas antibakteri mulai pada konsentrasi  5 % (250µg/disc), 10% (500 µg/disc), dan 20 % (1000 µg/disc ). Sedangkan ekstrak etanol dari sampel segar  mampu menghambat pada konsentrasi 20 % (1000 µg/disc), Sedangkan ekstrak etanol sampel kering mampu menghambat dimulai pada konsentrasi 5 % (250  µg/disc). Dari penelitian juga terlihat  aktivitas antibakteri dari ekstrak etanol sampel basah lebih kecil dibanding ekstrak etanol sampel kering, hal ini mungkin disebabkan oleh adanya senyawa pektin yang ikut terekstraksi menggunakan sampel kulit buah kakao segar. Senyawa pektin dapat terekstraksi pada larutan etanol di bawah 70 %, sedangkan kadar air pada sampel segar tidak diketahui. Dari empat bakteri uji yang digunakan ternyata Streptococcus mutan yang paling sensitif terhadap senyawa antibakteri dalam kulit buah kakao, hal ini sesuai penelitian Pasiga (2006) dan Matsumoto et al., (2004) bahwa ekstrak kulit buah kakao mempunyai aktivitas antibakteri terhadap  Streptococcus mutan secara in vitro maupun in vivo. Bakteri ini merupakan penyebab terjadinya karies gigi.
Dari penelitiaan tersebut dapat diketahui bahwa kondisi optimal untuk mengekstraksi komponen antioksidan-antimikroba dari kulit buah kakao adalah menggunakan bahan segar dan dengan cairan pengekstraksi aseton-air (7:3). Ekstrak aseton kulit buah kakao segar memiliki aktivitas antioksidan dengan IC50 0,08mg/ ml dan aktivitas antibakteri terhadap S. mutan dengan diametr hambatan 10,2 mm pada konsentrasi 1000 µg per disc.

DAFTAR PUSTAKA

Sartini, Djide, N., Gemini. 2011. Ekstraksi Komponen Bioaktif  dari Limbah Kulit Buah Kakao dan Pengaruhnya Terhadap Aktivitas Antioksidan dan Antimikroba. Fakultas Farmasi, Universitas Hasanuddin. Makassar.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar