Selasa, 15 Januari 2013

VITAMIN E


VITAMIN  E
            Vitamin E ditemukan pada tahun 1922, oleh Evans dan Bishop, dengan istilah tokoferol (dari bahasa Yunani, tocos berarti kelahiran anak dan phero berarti mengasuh). Vitamin E adalah nama umum untuk semua metil-tokol,  jadi istilah tokoferol bekan sinonim dari dari vitamin E, namun pada praktek sehari-hari, kedua istilah tersebut disinonimkan.
            Terdapat enam jenis tokoferol, α (alfa), ß (beta), γ (gama), δ (delta), ρ (eta), λ (zeta), yang memiliki aktivitas bervariasi, sehingga nilai vitamin E dari suatu bahan pangan didasarkan pada jumlah dari aktivitas-aktivitas tersebut. Tokoferol yang terbesar aktivitasnya adalah tokoferol alfa.

Sifat-sifat vitamin E
            Stabilitas kimia vitamin E mudah berubah akibat pengaruh berbagai zat alami. Minyak tak jenuh, seperti minyak hati ikan cod, minyak jagung, minyak kacang kedele, minyak biji bunga matahari, semuanya mempertinggi kebutuhan vitamin E. Hal ini terjadi jika minyak-minyak tersebut mengalami ketengikan oksidatif dalam makanan. Bila minyak-minyak tersebut tengik sebelum makanan dimakan, maka berarti telah terjadi kerusakan vitamin E dalam minyak dan dalam makanan yang mengandung minyak tersebut. Garam-garam besi, seperti feriklorida, kalium ferrisianida bersifat mengoksidasi tokoferol. Nitrogen klorida dan klor dioksida pada konsentrasi yang biasa digunakan untuk memutihkan tepung akan merusak sebagian besar tokoferol yang terdapat dalam tepung. Pembuatan tepung menjadi roti akan merusak 47% tokoferol yang terdapat dalam tepung.   
Manfaat Vitamin E
Fungsi metabolik vitamin E dalam tubuh antara lain (1) sebagai antioksidan; (2) dalam pernapasan jaringan normal, berperan membantu fungsi sistem sitokrom oksidase atau untuk melindungi susunan lipida di dalam mitokondria dari kerusakan oksidasi; (3) dalam reaksi fosforilasi normal, terutama ikatan energi fosfat, seperti kreatin fosfat dan adenosin fosfat; (4) dalam metabolisme asam nukleat; (50 dalam sintesis vitamin C, dan (6) dalam metabolisme asam amino bersulfur. 
Fungsi utama vitamin E di dalam tubuh adalah sebagai antioksidan alami yang mambuang radikal bebas dan molekul oksigen. Secara partikular, vitamin E juga penting dalam mencegah peroksidasi membran asam lemak tak jenuh. Vitamin E dan C berhubungan dengan efektifitas antioksidan masing-masing. Alfa-tokoferol yang aktif dapat diregenerasi dengan adanya interaksi dengan vitamin C yang menghambat oksidasi radikal bebas peroksi. Alternatif lain, alfa tokoferol dapat membuang dua radikal bebas peroksi dan mengkonjugasinya menjadi glukuronat ketika ekskresi di ginjal.
Vitamin E adalah vitamin yang larut dengan baik dalam lemak dan melindungi tubuh dari radikal bebas. Vitamin E juga berfungsi mencegah penyakit hati, mengurangi kelelahan, membantu memperlambat penuaan karena vitamin E berperan dalam  suplai oksigen ke darah sampai dengan ke seluruh organ tubuh. Vitamin E juga menguatkan dinding pembuluh kapiler darah dan mencegah kerusakan sel darah merah akibat racun. Vitamin E  membantu mencegah sterilitas dan destrofi otot.
Vitamin E banyak digunakan untuk tujuan melawan kekeringan pada kulit, sebagai produk tabir surya. Produk –produk tabir surya yang terbaik adalah yang mengandung sekurangnya 1% vitamin E. Riset membuktikan bahwa vitamin E memberikan perlawanan terhadap kekeringan dengan membantu memberikan pelembab natural pada kulit. Apabila digunakan sebelum terkena matahari, vitamin E bisa mencegah kulit kemerahan, bengkak, dan kering. Vitamin E biasanya dipakai sebelum dan sesudah terkena paparan sinar matahari, karena sinar matahari langsung bisa merusak setengah dari suplai vitamin E alami kulit.  Penelitian juga membuktikan bahwa vitamin E bisa mengurangi molekul jahat yang terjadi akibat paparan asap rokok.
Sebagai antioksidan, vitamin E berfungsi melindungi senyawa-senyawa yang mudah teroksidasi, antara lain ikatan rangkap dua pada UFA (Unsaturated Fatty Acid), DNA dan RNA dan ikatan atau gugus – SH (sulfhidril) pada protein. Apabila senyawa-senyawa tersebut teroksidasi, maka akan terbentuk ”radikal bebas”, yang merupakan hasil proses peroksidasi. Radikal bebas yang terjadi akan mengoksidasi senyawa-senyawa protein, DNA, RNA dan UFA. Vitamin E akan bertindak sebagai reduktor dan menangkap radikal bebas tersebut. Vitamin E dalam hal ini berperan sebagai scavenger. Scavenger yang lain selain vitamin E adalah vitamin C, enzim glutation reduktase, desmutase dan perosidase, yang bersifat larut dalam air. Scavenger yang larut dalam lemak adalah vitamin E dan ß-karoten.  
Sumber Vitamin E
            Sumber-sumber yang kaya akan vitamin E antara lain minyak tumbuh-tumbuhan, biji-bijian dan telur. Kolustrum manusia dan sapi mengandung vitamin E sepuluh kali lebih tinggi daripada susunya. Minyak kapas, minyak jagung, dan minyak lembaga gandum mengandung vitamin E sekitar 0,01 – 0,05 persen. Vitamin E dapat pula dibuat secara sintetis. 
Metabolisme Vitamin E
Vitamin E lebih mudah diserap usus, apabila terdapat lemak dan dalam kondisi tubuh yang mempermudah penyerapan lemak. Tokoferol dari makanan diserap oleh usus digabungkan dengan kilomikron dan ditransportasikan ke hati melalui sistim limfatik dan saluran darah. Di hati, tokoferol disebarkan ke sel-sel jaringan tubuh melalui saluran darah. Di dalam plasma darah, tokoferol bergabung dengan lipoprotein, terutama VLDL ( Very Low Density Lipoprotein).
            Kira-kira 40 – 60% tokoferol dari makanan yang dikonsumsi dapat diserap oleh usus. Peningkatan jumlah yang dikonsumsi akan menurunkan persentase yang diserap. Vitamin E disimpan terutama dalam jaringan adiposa, otot dan hati. Pada orang yang sehat, jumlah vitamin C cadangan cukup digunakan dalam beberapa bulan. Secara normal, kadar vitamin E dalam plasma darah adalah antara 0,5 – 1,2 mg/ml.
            Asam lemak tidak jenuh ganda (PUFA/ Poly Unsaturated Fatty Acid), dapat menurunkan penyerapan dan penggunaan vitamin E. Hal ini berkaitan kemungkinan dengan kecenderungan vitamin E bersifat mudah teroksidasi. Oleh karena itu kebutuhan vitamin E akan bertambah seiring dengan semakin bertambahnya konsumsi PUFA. Dengan demikian, peningkatan konsumsi PUFA yang tidak diikuti dengan prningkatan asupan vitamin E akan menimbulkan penurunan secara gradual α-tokoferol dalam plasma.
            Di dalam hati, α-tokoferol diikat oleh α-TPP (α-tokoferol transfer protein). Setelah menjalankan fungsinya sebagai antioksidan, tokoferol dapat teroksidasi menjadi tokoferil (tokoferol bentuk radikal) bentuk radikal ini dapat direduksi kembali menjadi tokoferol oleh kerja sinergi dari antioksidan yang lain, misalnya vitamin C dan glutation.
            Kelebihan vitamin E dalam tubuh akan disimpan dalam beberapa organ, antara lain hati, jaringan adiposa, otak dan lipoprotein. Vitamin E diekskresikan dari tubuh bersama dengan empedu melalui feses, sebagian lagi melalui urin setelah diubah lebih dahulu menjadi asam tokoferonat dan tokoferonalakton yang dapat berkonjugasi dengan glukoronat.
Defisiensi Vitamin E
Kekurangan vitamin ini dapat menyebabkan tubuh tidak bertenaga, aktifitas seksual menurun, deposit lemak yang tidak normal di otot, perubahan degenerasi di hati dan otot, kulit kering, dan peningkatan resiko kanker.
Defisiensi vitamin A juga menyebabkan sterilitas pada tikus dan kerusakan otot pada anjing, marmut dan kelinci. Suatu tanda awal kekurangan vitamin E adalah hilangnya pergerakan spermatozoa. Kebuntingan bisa terjadi pada tikus betina penderita, tetapi pertumbuhan embrio terganggu dan sering mengakibatkan penyerapan fetus.
Gejala lain dari defisiensi vitamin E adalah (1) hilangnya fertilitas pada marmut, tikus, dan mungkin pada babi; (2) warna kecoklatan dari uterus tikus dan jaringan lemak; (3) kerusakan otot lurik marmut, domba, kelinci dan tikus; (4) kelainan otot jantung pada sapi, domba, monyet, unggas, kelinci dan tikus; (5) nutritional encephalomalacia pada unggas, disebut pula gila ayam, gejalanya terdiri dari hilangnya koordinasi, kepala ditarik ke belakang, anggota badan menjadi kaku; (6) nekrosis hati pada tikus dan degenerasi hati dan otot pada babi.

Metode Difusi Cakram dan Metode Sumuran


a.      Metode Difusi Cakram
Cara yang mudah untuk menetapkan kerentanan organisme terhadap antibiotik adalah dengan menginokulasi pelat agar dengan biakan dan membiarkan antibiotik terdifusi ke media agar. Cakram yang telah mengandung antibiotik diletakkan di permukaan pelat agar yang mengandung organisme yang diuji. Pada jarak tertentu pada masing-masing cakram,antibiotik terdifusi sampai titik antibiotik tersebut tidak lagi menghambat pertumbuhan mikroba.Efektivitas antibiotik ditunjukkan oleh zona hambatan. Zona hambatan terlihat sebagai area jernih atau bersih mengelilingi cakram tempat zat dengan aktivitas antimikroba terdifusi. Diameter zona dapat diukur dengan penggaris dan hasil dari eksperimen ini merupakan satu antibiogram. Ukuran zona hambatan dapat dipengaruhi oleh kepadatan media biakan, kecepatan difusi antibiotik,konsentrasi antibiotik pada cakram filter,sensitivitas organisme terhadap antibiotik, dan interaksi antibiotik terhadap media.suatu zat yang mempunyai efek samping signifikan tidak boleh digunakan (Harmita dkk, 2008). Pada praktikum ini cakram antibiotik yang dipakai yaitu cakram chloramphenicol (30 µg), cakram ciprofloxacine (5 µg) dan cakram tetrasiklin (30 µg).
-          Cakram Chloramphenicol (30 µg)
Kelarutan chloramphenicol yaitu larut dalam lebih kurang 400 bagian air. Tingkat sensitivitas chloramphenicol adalah
Pada praktikum, diameter zona hambat yang dihasilkan cakram ini adalah 28 mm. ini berarti tingkat sensitivitasnya
-          Cakram Ciprofloxacine (5 µg)
Pada praktikum, diameter zona hambat yang dihasilkan cakram ini adalah 33 mm. ini berarti tingkat sensitivitasnya
-          Cakram Tetrasiklin (30 µg)
Pada suhu 28°C kelarutan tetrasiklin dalam air sebesar 1,7 mg/ml (Schunack et al., dalam Suryani, 2009). Tingkat sensitivitas tetrasiklin yaitu
Pada praktikum, diameter zona hambat yang dihasilkan oleh cakram ini adalah 31 mm. ini berarti tingkat sensitivitasnya
Selain dengan cakram antibiotik, pada praktikum juga dpakai cakram kosong yang kemudian ditetesi dengan minyak sebanyak 2 µL untuk menguji sensitivitasnya. Minyak yang digunakan tidak diencerkan sehingga kadarnya 100 %. Minyak tersebut yaitu :
-          Minyak Cengkeh
Daun cengkeh mengandung minyak atsiri yang komponen utamanya yaitu eugenol. Selain eugenol, juga mengandung berbagai bahan lainnya yang jumlahnya relatif sedikit, misalnya eugenol asetat, methil amil keton, kariofilen, furfurol, dan vanillin. Bahan-bahan tersebut hampir semuanya tergolong dalam golongan fenol yang pada dasarnya mempunyai sifat antibakteri (Kumala dan Indriani, 2008). Hasil penelitian menunjukkan bahwa minyak cengkeh dengan konsentrasi 1:1, 1:2 dan 1:3 mampu menghambat bakteri Gram Positif (B.cereus dan S.aureus) dan Gram Negatif (E.coli dan Shigella sp), daya hambat minyak cengkeh terhadap bakteri semakin besar dengan semakin tingginya konsentrasi (Taufik et al., tanpa tahun).
Pada praktikum, zona hambat yang dihasilkan oleh minyak ini adalah 15 mm.
-          Minyak Sereh
Komponen kimia dalam minyak sereh wangi cukup kompleks, namun komponen yang terpenting adalah sitronellal dan geraniol. Senyawa-senyawa tersebut memiliki aktivitas antibakteri, ditulis Suprianto (2008). Pada praktikum, zona hambat yang dihasilkan oleh minyak ini adalah 10 mm.
-          Minyak Mentha piperita
Dari penelitian yang dilakukan dengan berbagai bentuk dari peppermint (lautan, infuse, rebusan, jus dan minyak atsiri peppermint) dengan metode Standard Disk Diffusion didapatkan bahwa minyak atsiri dari peppermint memiliki aktivitas antibakteri yang tinggi terhadap 11 spesies bakteri gram negatif yang digunakan termasuk E. coli. Kandungan minyak ini didominasi oleh monoterpen terutama mentol, menton dan turunannya (misalnya isomenthone, neomenthol,acetylmenthol,pulegone). Minyak ini berfungsi sebagai antibakteri terutama mentol, ditulis : Saeed (2006). Zona hambat yang dihasilkan oleh minyak ini adalah 14 mm.
     Pengujian sensitivitas bahan alam seperti minyak dari tumbuhan ini digunakan hanya untuk menguji potensinya saja. Indu et al. (2006) menyatakan bahwa pada filter paper method, jika diameter zona hambat kurang dari 12 mm maka senyawa tersebut tidak memiliki aktivitas antibakteri (resisten) ; jika diameternya 12-16 mm, maka termasuk intermediet dan jika diameter zona hambatnya lebih dari 16 mm, maka senyawa tersebut termasuk sensitive. Dari hasil praktikum, minyak cengkeh dan Mentha piperita memiliki aktivitas antibakteri yang bersifat intermediet sedangkan minyak sereh dengan diameter zona hambat sebesar 10 mm digolongkan resisten. Namun berdasarkan sumber, minyak sereh mempunyai aktivitas antibakteri. Adanya ketidaksesuaian kemungkinan karena kurangnya jumlah minyak yang diteteskan pada cakram (pada percobaan yang dilakukan selain oleh kelompok kami, didapatkan diameter zona hambat sebesar 14 mm / intermediet).
  1. Metode Sumuran
Pada metode ini, sumuran dibuat pada agar dengan garis tengah sesuai dengan kebutuhan. Kemudian antibiotik atau zat yang diuji dimasukkan ke dalamnya. Pada praktikum, ke dalam sumuran dimasukkan ketiga minyak yang telah disebutkan di atas dan ekstrak jambu biji.
Zona hambat yang dihasilkan pada metode sumuran
-          Sumuran Minyak
Pada sumuran minyak, dimasukkan minyak cengkeh, sereh dan Mentha piperita sebanyak 50 µL untuk setiap sumuran dan kadar minyak adalah 100 % (tanpa pengenceran). Hasil yang didapatkan yaitu zona hambat yang dihasilkan ketiga minyak tidak bisa dihitung diameternya karena zona hambat minyak yang satu dengan lainnya saling begabung (lihat lampiran gambar 1.8). Ini dikarenakan kadar minyak yang tinggi sehingga daya hambatnya juga besar.
-          Sumuran Ekstrak Jambu Biji
Pada praktikum, ekstrak jambu yang digunakan adalah ekstrak jambu dengan kadar 0,025%, 0,05% dan 0,075%. Hasil yang didapatkan yaitu tidak ditemukannya zona hambatan pada medium (lihat lampiran gambar 1.7). Namun seharusnya, ekstrak jambu ini memiliki aktivitas antibakteri terhadap E. coli (Adnyana et al., 2004).  Berdasarkan penelitian, ditemukan bahwa, suatu ekstrak tidak akan menimbulkan aktivitas antibakteri jika konsentrasinya 10% ke bawah (Indu et al.,2006). Oleh karena itu, karena ekstrak yang dipakai pada waktu praktikum adalah di bawah 10%, jadi tidak memberikan efek.




 
                                                                                                                           

SITOSKELET



 SITOSKELET


 

Deskripsi
            Pada bab ini akan dipelajari struktur dan fungsi sitoskelet. Komponen penyusun sitoskelet terdiri dari mikrotubulus, mikrofilamen dan filamen intermediet. Sitoskelet berperan dalam pergerakan sel seperti sitokinesis, gerak amuboid serta kontraksi pada sel otot.

Kompetensi dasar
Mengidentifikasi struktur dan fungsi sitoskelet  sebagai dasar dalam pergerakan sel.
PENDAHULUAN
Sitoskelet atau rangka sel merupakan filamen-filamen non spesifik yang umum terdapat pada semua sel membentuk jalinan pada daerah sitoplasma. Sitoskelet terdiri dari mikrofilamen, filamen intermediat dan mikrotubulus. Organel kecil ini dikenal setelah digunakannya mikroskop elektron (Gambar 4.1)


MIKROTUBULUS
Struktur
Mikrotubulus memiliki bentuk silinder dengan diameter luarnya ± 30 nm dan lumernya 1 14 nm dengan ketebalan dindingnya 8 nm. Panjangnya bervariasi tergantung dari tipe sel dan spesies, namun kadang-kadang dapat mencapai 1000 kali tebalnya yaitu hingga 25 µm, namun tidak memiliki cabang. Dinding dari mikrotubulus tersusun dari 9-14 protofilamen/protofibril yang identik (Gambar 4.2).



 

Setiap sub unit adalah merupakan suatu dimer (Gambar 4.2.) dengan berat molekul protein 110.000 - 120.000.
Protein tubulin dibedakan atas 2 macam, yaitu:
-          Tubulin α
-          Tubulin β
Struktur monomer dari tubulin oc tidak sama dengan tubulin (3. Satu dimer dapat terdiri dari 2 monomer identik disebut homodimer, atau 2 monomer yang berbeda disebut heterodimer (monomer tubulin α+ monomer tubulin β).
      Protofilamen merupakan kesatuan, dapat dari homodimer atau heterodimer, tergantung jenis atau sifat dari mikrotubulus yang bersangkutan.
      Pasangan sub unit (heterodimer α dan heterodimer β) membentuk suatu heliks. Colehieine yang merupakan suatu alkaloid memiliki kemampuan bergabung pada subunit mikrotubulus dan juga menghambat asosiasinya membentuk mikrotubulus. Merupakan penyebab terhambatnya pembelahan sel pada stadium metafase.
Dimer tubulin memiliki tempat berikatan dengan GTP (guanosine tryphosphate) dan tempat untuk alkaloid penghambat polimerisasi (colchicine, vinblastine, podophylline). Suhu dingin dan jenis alkaloid yang telah disebutkan sebelumnya menyebabkan depolimerasi dari mikrotubulus. Fiksasi colchicine menyebabkan pemendekan, selanjutnya mikrotubulus menghilang oleh kegagalan polimerisasi. Polimerisasi dapat terjadi oleh kehadiran GTP dan Mg++. Polimerisasi berawal dari satu kecambah inti (bakal inti) yang berbentuk cincin (tersusun dari tubulin). Tubulin-tubulin bersatu pada eksteremitas dari cincin dan selanjutnya memulai membentuk protofilamen primer, sekunder, dan seterusnya membentuk satu mikrotubulus berdinding terbuka. Bilamana protofilamen semua telah terbentuk, dinding tertutup dan mikrotubulus yang kecil tersebut selanjutnya memainkan perannya lag] sebagai kecambah (bakal ). Kecamhah atau bakal disebut sebagai Microtubule Organizing Centers (MTOCs). Lokasi dan orientasinya menentukan pola pertumbuhan dari organel.
MTOCs memiliki beberapa bentuk seperti yang terdapat pada sentriol, capsule basal, kromosom, dan lain-lain.
Fungsi
Mikrotubulus terlibat dalam:
a.     Pergerakan kromosom selama pembelahan sel.
b.     Transport senyawa atau bahan-bahan intraselular
c.     Morfogenesis sel
d.     Mempertahankan bentuk sel
e.     Pergerakan dari sel (cilia dan flagella)
f.     Migrasi vakuola endositosis
g.     Pembebasan partikel-partikel sekresi
h.     Polaritas selular
i.      Mempertahankan struktur membran sel
MIKROFILAMEN
Struktur
Pengamatan dengan mikroskop elektron menunjukkan bahwa mikrofilamen ukurannya lebih pendek dari mikrotubulus yaitu panjangnya 1-2 µm dan tebal 5-7 nm. Struktur dari mikrofilamen berhubungan dengan fungsinya, tersusun dari protein actin.

Actin terdapat dalam 2 bentuk yaitu:
a.     Actin-G dalam bentuk globular dengan berat molekul 42.000 Da dan dicirikan oleh kandungan asam amino N-methylhistidine.
b.     Actin-F dalam bentuk fibrilair.
Bila konsentrasi Mg++ dan ATP meningkat, actin-G terpolimerasi menjadi actin-F, membentuk suatu double helix yang berdiameter 7 nm dan jarak 72 nm. Polimerisasi tersebut her jalan seperti berikut:
-      Suatu molekul ATP melekat pada actin-G. Molekul actin-G yang aktif bersatu pada satu molekul ADP.
-      Molekul actin-G aktif membentuk dua untai berpilin. ADP melekat pada setiap monomer berfungsi sebagai regulator allosterik.
Actin-F terdapat dalam semua sel-sel nonanusculer (jaringan sub-membraner sumbu microvilli) berasosiasi dengan molekul lain seperii speetrin, a,-actinin dan vinculin. Actin berpartisipasi pada organisasi myofibril dan sel muscular skelet atau myocyte cardiac.
Fungsi
Actin-F berperan dalam pembentukan sitoskeleton dan pergerakan selular. Dalam pembentukan sitoskeleton actin F antara lain bertindak sebagai factor gelifikasi (perekat), menyebabkan sitoplasma tetap dalam bentuk gel. Faktor gelasi. ABP (Actin Binding Protein) dan Filamen memodifikasi viscoelastisitas dari sitoplasma dengan menginduksi, melalui hubungan dengan berkas actin, pembentukan suatu jaringan yang rigid. Dengan demikian menyebabkan terbentuknya semacam skeleton dan sitoplasma yang senantiasa dalam kondisi gel.
Dalam pergerakan sel, actin-F berperan secara aktif pada mekanisme kontraksi oleh adanya 2 kofaktor yaitu:
-      Tropomyosine (protein fibrilair yang terdapat di antara setiap molekul actin)
-      Troponine (protein globular melekat pada satu bagian ekstremitas molekul tropomyosine)
Di samping itu dimungkinkan pula oleh adanya filamen myosine yang tersusun dari molekul myosine yang mengandung 4 rantai polipeptida (2 panjang dan 2 pendek). Kedua rantai polipeptida memintal satu dengan yang lain membentuk heliks. Filamen myosin memiliki panjang yang bervariasi, umumnya pendek pada sel non-muskular dan kadang dapat mencapai 1,5 mikrometer pada sel muscular yang berdiferensiasi. Filamen myosine terdiri dari meromyosine yang dibedakan lagi atas yang meromyosin ringan (LMM) dan meromyosin berat (HMM). Meromyosine berat merupakan jembatan terputar ("cross bridge") menuju eksterior, dalam bentuk heliks yang berjarak 42.9 rim. Heliks aktin merupakan struktur dari myofilamen tipis. Meromyosine berat terdiri dari 3 sub fragmen yaitu 1 subfragmen S2 (batang) dan 2 sub fragmen SI (kepala globular). Segmen S1 memiliki sifat yaitu melekat pada actin dan menerima ATPase myosin oleh adanya Ca++ . Energi yang diperlukan untuk kontraksi diperoleh dari penguraian ATP oleh ATPase. Transisi antar istirahat (relaksasi) dan kontraksi bergantung pada konsentrasi ion Ca bebas di sekitarnya. Jika tidak ada Ca2+, maka protein regulator (tropomyosin dan berbagai troponin) nenghalangi interaksi antara aktin dan mryos?n.


Mekanisme kontraksi (interaksi antara aktin dan myosin) dan relaksasi (tidak ada interaksi antara aktin dari myosin) dari filamen myosine terjadi tanpa adanya modifikasi dari ukurannya, menyebabkan meluncurnya filamen actin. Sel eukariot mengandung aktin dalam konsentrasi yang tinggi dan myosin berkonsentrasi yang rendah. Filamen aktin dan myosin terdapat pada amuba sehingga diketahui berperan dalam pergerakan amuba yaitu dengan kontraksi frontal.
FILAMEN INTERMEDIAT
Struktur
Memiliki struktur fibriler dengan diameter antara 7 dan 11 nm menghubungkan antara mikrotubulus dan mikrofilamen. Filamen intermediat tidak ditemukan pada semua tipe sel. Dibedakan atas beberapa kelompok utama dari filamen intermediat. Filamen intermediat umumnya terdiri dari 31 asam amino, memiliki bagian yang heliks dan menyerupai jarum. Bagian pusat dikelilingi oleh amino dan karboksil terminal.
Filamen intermediat dapat dibedakan atas 2 berdasarkan struktur biokimianya
yaitu:
1.         Homopolimer yang termasuk protein seperti:
-          Vimentine (sel mesenchim): karakteristik dari sel mesenchim, terutama fibroblast, fibrocyte, chondrocyte dan sebagainya.
-          Desmine (sel otot): Terdapat pada sel muscular pada lapisan tengah dari dinding vascular.
-          Gilial Fibrillary Acidic protein/GFA (astrosit): Spesifik pada sel gilial, sel neuroectodermis yang berperan antara lain dalam jaringan nervus.
2.         Heteropolimer yang dibedakan atas sitokeratin (epitel) dan neurofilamen (sel saraf). Jenis protein yang membentuk filamen intermediat member) karakteristik sel dan jaringan yang dibentuk.
Fungsi
Pada sebagian sel, filamen intermediat mempunyai peranan struktural mikrotubulus, mikrofilamen dan filamen intermediat berinteraksi dalam sel untuk membentuk suatu sitoskeleton.
MOTILITAS SEL (GERAKAN SEL)
Pengamatan dengan menggunakan mikroskop elektron mengungkapkan bahwa pada umumnya matriks sitoplasma sel eukariot mengandung kerangka sel yang tersusun dalam struktur yang berdimensi 3. Mikrotubulus, organel-organel mikrotubuia dan mikrofilamen memainkan peranan dalam pembelahan sel (sitokenesis) dan pergerakan sel (motilitas sel). Organel sel yang terbentuk dari susunan mikrotubulus beberapa di antaranya merupakan organel transitoris seperti aster dari spindle yang timbul dan menghilang pada daur mitosis dan miosis. Sedang organel yang permanen adalah seperti cilia, flagella, basal body dan sentriol.

a. Sitokenesis
Mikrotubulus bermula di dalam sitoplasma tanpa lokalisasi yang pasti dan mengarah radial dari nukleus. Penampakannya berupa filamen lurus atau kurva dan berakhir di permukaan sel. Filamen ini menghilang oleh depolimerisasi apabila diberikan pertakuan colchicinin, atau pendinginan. Selanjutnya dapat timbul atau nampak kembali bila diberi perlakuan sebaliknya yaitu akan nampak pada daerah sentrofer yakni daerah yang mengandung sentriot. Sentrofer merupakan pusat organisasi mikrotubulus. Pada sel yang memasuki fase mitosis mikrotubulus sitoplasma menghilang dan diganti oleh benang-benang spindle dan aster.
b. Gerakan membran
Gerakan yang berlokalisasi pada membran nampak oleh peran dari tilamen actin. Fenomena yang paling jelas adalah tonjolan-tonjolan halus ini adalah mikrovilli yang terdiri dari sekitar 24-30 mikrofilamen. Mikrovilli ini secara teratur memanjang dan memendek ke dalam epitelium intestinal. Mikrofilamen yang menyusun mikrovilli, berkelompok oleh adanya interaksi dari fimbrin dan villin. Kelompok mikrofilamen tersebut tersusun parallel di sepanjang mikrovilli dan terbenam dalam membran plasma pada bagian ujung mikrovilli. Tidak ditemukan adanya myosin dalam mikrovilli namun terdapat anyaman mikrofilamen yang disebut jaring terminal yang mengandung myosin. Interaksi myosin dan actin menyokong mikrovilli dan membentuk mekanisme kontraksi yang memendekkan mikrovilli.
c.     Gerakan silia dan flagella amuboid
Organel silia dan flagella berperanan dalam motilitas sel. Flagella bentuknya panjang menonjol keluar sel, umumnya jumlahnya sedikit. Terdapat di ujung atau di perm ukaan sel. Silia bentuknya pendek dan jumlahnya banyak.

Protozoa banyak yang mempunyai flagella atau cilia. Demikian pula spermatozoa dari metazoa bergerak oleh karena adanya flagella. Pada permukaan dalam dari saluran pencernaan makanan pernafasan dan sebagian saluran reproduktif memiliki silia epitel.
Mekanisme pergerakan sel yang amuboid yaitu melibatkan tahap penjuluran membran dan daya rekat/adherence yang menyebabkan sitoplasma sel mengalir ke depan. Aksi tersebut melibatkan peran dari mikrofllamen aktin. Pereobaan yang dilakukan dengan penambahan sitochalasin B nampak bahwa tidak terjadi gerakan amuboid. Gerakan amuboid diduga melibatkan sistem kontraksi oleh aktin dan myosin seperti halnya juga pada sel otot.
Kontraksi Otot
Otot rangka berbentuk silindris  dengan tebal antara 10 – 40 µm dengan panjang dapat mencapi 40 mm serta mengandung ratusan nukleus. Oleh karena itu sel otot rangka biasa disebut serabut otot. Serabut otot memeiliki banyak nukleus yang disebabkan oleh fusi mononukleat mioblas pada embrio.
 
Penampang melintang serabut otot terlihat seperti kabel yang tersusun dari banyak sekali serabut halus berbentuk silindris yang disebut dengan myofibril. Miofibril dipisahkan satu sama lain oleh oleh suatu sistem membran yang mengandung mitokondria, lipid droplet dan granula glikogen.Setiap myofibril mengandung unit kontarktil yang berulang yang disebut dengan sarkomer. Setiap sarkomer tersusun dengan pola khas pita dan garis yang meperlihatkan gambaran gelap terang (lurik). Pengamat pada serabut otot yang diwarnai dengan menggunakan mikroskop elektron pola overlapping pada sebagian dari dua tipe filament yang berbeda, yang disebut dengan filament tipis dan tebal. Setiap sarkomer memanjang dari garis Z sampai garis Z berikutnya dengan beberapa daerah pita gelap dan terang, seperti terlihat pada gambar di bawah.


            Sarkomer memiliki sepasang pita terang, I band, yang berada di sebelah luar yang mengapit daerah yang lebih gelap, A band, di mana A band mengapit H zone yang berwarna lebih terang. Pada bagian tengah H zone  terdapat garis M (M line). I band mengandung filament tipis sedangkan A band mengandung filament tebal. Bagian luar daerah A dan H saling tumpang tindih dan mengandung kedua macam filamen. Penampang melintang pada daerah yang saling tumpang tindih memperlihatkan bahwa filamen tipis tersusun heksagonal mengelilingi setiap filamen tebal di mana setiap filamen tipis terletak di antara dua filamen tebal.

           
MODEL SLIDING FILAMENT
            Semua otot rangka melakukan kontarksi dengan memendek. Unit kontraksi (pemendekan) adalah sarkomer, yang menyebabkan pemebdekan seluruh otot. Petunjuk penting yang mendasari mekanisme kontraksi otot adalah pola gelap terang dari sarkomer pada berbagai tahap proses kontraksi. Pada satu serabut otot yang memendek, A band relative memiliki panjang yang tetap, sedangkan H band dan I band mengalami pemendekan kemudian tampak menyatu. Pada saat pemendekan terjadi Z line tampak saling berdekatan serta semakin berdekatan dengan ujung luar dari A band hingga tampak berhubungan satu sama lain.
            Berdasarkan pengamatan di atas, dua kelompok peneliti Inggris, Andrew Huxley dan R. Niedergerke serta Hugh Huxley dan Jean Jason mengajukan model untuk kontraksi otot.  Menurut mereka, kontarksi otot tidak disebabkan oleh pemendekan filamen tetapi sebih disebabkan oleh sliding satu sama lain. Sliding filamen tipis pada sentral sarkomer dalam pengamatan menunjukkan menjadi penyebab peningkatan daerah yang saling tumpang tindaih antar filamen dan menyebabkan pemendekan I dan H band.


Komposisi dan susunan miofilamen
            Filamen tipis dari sarkomer terutama mengandung aktin sedangkan filamen tebal mengandung miosin. Protein lainyang banyak erdapat dalam serabut otot adalah titin, suatu molekul yang memiliki berat lebih dari 3 juta dalton dan memiliki panjang lebih dari 1 µm serta merupakan protein terbesar yang pernah diamati. Titin berasal dari M line dan memanjang sepanjang filamen miosin  menuju ke A band dan berakhir pada Z line.


Selain aktin, filamen tipis mengandung dua protein lain yaitu tropomisin dan troponin. Tropomiosin merupakan suatu molekul yang panjangnya bisa mencapai 40 nm, sedangkan troponon suatu protein yang berbentuk globular yang tersusun atas 3 subunit. Setiap filemen tebal tersusun atas beberapa ratu molekul miosin besama sejumlah kecil protein lain. Filamen tebal memiliki polaritas yang berlawanan dan terdapat pada bagian tengan sarkomer yang berhubungan pada M line (lihat pada gambar di atas).  Pusat dari filamen disusun oleh ekor molekul miosin yang letaknya berlawanan arah dengan daerah kepala.

RANGKUMAN
Sitoskelet atau rangka sel merupakan filamen-filamen non spesifik yang umum terdapat pada semua sel membentuk jalinan pada daerah sitoplasma. Sitoskelet terdiri dari mikrofilamen, filamen intermediat dan mikrotubulus
Mikrotubulus memiliki bentuk silinder dengan diameter luarnya ± 30 nm dan lumernya 1 14 nm dengan ketebalan dindingnya 8 nm. Panjangnya bervariasi tergantung dari tipe sel dan spesies, namun kadang-kadang dapat mencapai 1000 kali tebalnya yaitu hingga 25 µm, namun tidak memiliki cabang.
Mikrofilamen ukurannya lebih pendek dari mikrotubulus yaitu panjangnya 1-2 µm dan tebal 5-7 nm. Struktur dari mikrofilamen berhubungan dengan fungsinya, tersusun dari protein actin.

LATIHAN
  1. Jelaskan fungsi sitoskelet
  2. Sebutkan macam-macam komponen penyusun sitoskelet
  3. Jelaskan perbedaan antara mikrotubulus, mikrofilamen dan filament intermediet.
  4. Bagimanakah perbedaan pergerakan otot dan non otot
  5. Jelaskan mekanisme kontraksi

SENARAI
Sitoskelet        :   rangka sel berbentuk filamen yang terdiri dari 3 macam yaitu mikrotubulus, mikrofilamen dan filamen intermediet. Berfungsi antara lain sebagai penyokong, rangka berbagai macam jenis sel dan pergerakan sel
Mikrotubulus organization center : suatu struktur yang berperan dalam pembentukan mirotubulus.
Mirotubulus      :   berbentuk silindris, dengan diameter 25 nm di mana dindingnya tersusun atas heterodimer αβ-tubulin yang tersusun sejajar.
Mikrofilamen    :   berbentuk solid, dengan tebal 8 nm, suatu rangka sel yang tersusun atas protein aktin yang tersusun secara double helix dan berperan dalam pergerakan dan kontraksi sel.  
Miofibril            :   berbentuk silidris tipis, menyusun serabut otot. Setiap myofibril tersusun atas unit kontraktil yang berulang-ulang yang disebut sarkomer dan memberikan gambaran gelap terang pada otot.
Serabut otot     :   sel otot rangka, disebut serabut otot karena berbentuk seperti serabut dengan inti yang banyak dan tersusun atas ratusan serat tipis berbentuk silindris.
Sarkomer         :   Suatu unit kontraksi dari myofibril yang memberikan gambaran gelap terang pada otot.
Filamen tipis    :   Satu dari dua macam filamen yang memberikan cirri khas bagi sarkomer. Mengandung aktin yang tersusun heksagonal di sekeliling filamen tebal. Setiap filamen tipis terdapat di antara filamen tebal.
Filamen tebal   :   Satu dari dua macam filamen yang memberikan cirri khas bagi sarkomer. Mengandung miosin yang tersusun mengelilingi filamen tipis.
Tubulin            :   Protein yang menyusun dinding mikrotubulus