RESUME JURNAL
“EKSTRAKSI KOMPONEN BIOAKTIF DARI LIMBAH KULIT
BUAH KAKAO DAN PENGARUHNYA TERHADAP AKTIVITAS
ANTIOKSIDAN DAN ANTIMIKROBA ”
Sartini , M. Natsir Djide,
Gemini Alam
Fakultas Farmasi Universitas
Hasanuddin, Makassar
Oleh:
NAMA : YENI NUR CAHYANI
NIM : 112210101033
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS JEMBER
2011
RESUME JURNAL
Judul : EKSTRAKSI
KOMPONEN BIOAKTIF DARI LIMBAH KULIT BUAH
KAKAO DAN PENGARUHNYA TERHADAP AKTIVITAS
ANTIOKSIDAN DAN ANTIMIKROBA
Penulis : SARTINI , M. NATSIR DJIDE, GEMINI ALAM
Beberapa tanaman
pangan diketahui kaya akan
senyawa-senyawa bioaktif, terutama polifenol, yang mempunyai khasiat sebagai
antioksidan dan antimikroba. Senyawa-senyawa antioksidan alami sangat
dibutuhkan untuk mencegah penyakit-penyakit degeneratif seperti penyakit
jantung koroner, kanker, dan beberapa penyakit yang lainnya. Senyawa-senyawa antimikroba
demikian ada akibat makin banyaknya mikroba patogen yang telah resisten dengan
antibiotika yang ada. Tanaman kakao (Theobroma cacao L.) merupaka salah satu
tanaman di Indonesia yang berpotensi sebagai antioksidan dan antimikroba alami.
Biji kakao kaya akan komponen-komponen senyawa fenolik, antara lain : katekin,
epikatekin , proantosianidin, asam fenolat, tannin dan flavonoid lainnya. Biji
kakao mempunyai potensi sebagai bahan antioksidan alami, antara lain: mempunyai
kemampuan untuk memodulasi system immun, efek kemopreventif untuk pencegahan
penyakit jantung koroner dan kanker (Othman et al, 2007; Weisburger, 2001; Keen, 2005), selain
itu polifenol kakao bersifat antimikroba terhadap beberapa bakteri patogen dan
bakteri kariogenik ( Osawa et al, 2000;
Bouchers, 2002; Lamuela-Raventos, 2005). Kakao juga mempunyai kapasitas
antioksidan lebih tinggi dibanding teh
dan anggur merah (Lee et al, 2003)
Disamping menghasilkan biji, dalam proses penanganannya juga
menghasilkan produk ikutan (limbah) berupa kulit buah kakao sebesar kurang lebih 73,77% dari berat buah
secara keseluruhan. Adanya komponen-komponen polifenol dalam biji kakao, tidak
menutup kemungkinan juga terdapat dalam kulit buah kakao dengan khasiat yang
sama. Menurut Figuera
et al (1993), kulit buah kakao
mengandung campuran flavonoid atau tannin terkondensasi atau terpolimerisasi,
seperti antosianidin, katekin, leukoantosianidin yang kadang-kadang terikat
dengan glukosa. Tannin yang terikat dengan gula umumnya mudah larut dalam
pelarut hidroalkohol, sedangkan tannin terkondensasi atau tannin lebih mudah
terekstraksi dengan pelarut aseton 70 % (anonim, 2007). Permasalahannya
adalah bagaimana kondisi ekstraksi yang
paling optimal untuk mengekstraksi komponen antioksidan dan antibakteri dari
limbah kulit buah kakao ? Untuk itu
dalam penelitian ini dilakukan ekstraksi menggunakan 2 macam kulit buah kakao
(segar dan kering ) dan 2 macam pelarut (etanol 70 % dan campuran aseton–air
(7:3). Uji aktivitas antioksidan dilakukan dengan metode DPPH dan uji
antibakteri dilakukan dengan metode difusi agar.
Kulit buah
kakao jenis lindak (Forastero) asal kabupaten Soppeng,
2,2-diphenyl-2-picrylhydrazyl / DPPH (Sigma), , aseton (teknis), etanol
(teknis), etanol absolute (e-Merck),
aquadest, Nutrien agar , Muller Hilton Agar, paper disc
(Oxoid), Dimetil sulfoksida
(e-Merck), mikroba uji Staphylococcus aureus, Streptococcus mutan, Escherichia
coli, Salmonella thyposa (koleksi
laboratorium Mikrobiologi Farmasi UNHAS).
Pada penelitian ini, metode kerja yang
digunakan ada 4, yang pertama adalah pengolahan sampel. Buah kakao yang
diambil yang sudah masak, ditandai
dengan mulai menguningnya buah pada saat dipetik. Sebelum dilakukan pengolahan,
buah yang sudah dipetik dibiarkan dahulu
selama kurang lebih 5 hari untuk memudahkan lepasnya biji dari kulit buahnya. Sebagian
kulit buah kakao dalam bentuk segar ditumbuk
kasar menggunakan lumpang batu.
Sebagian dikeringkan di bawah sinar
matahari dan setelah kering ditumbuk kasar.
Selanjutnya
metode kedua yaitu Ekstraksi Kulit buah Kakao
secara maserasi. Masing-masing sampel kulit buah kakao 1 kg diremaserasi
sebanyak 3 kali menggunakan Aseton : air
(7:3) dan etanol 70 % dengan perbandingan sampel- pelarut (1 : 2)
untuk sampel basah, dan (1 : 3) untuk sampel kering. Setelah
ekstraksi kulit buah kakao secara meresai selesai, dilanjutkan tahap yang
ketiga yaitu uji aktivitas antioksidan. Uji aktivitas antioksidan dilakukan
dengan metode DDPH seperti yang dilakukan oleh Othman et al.,
(2007) yang dimodifikasi, yaitu dibuat larutan uji dengan konsentrasi5
mg/ml; 1,25 mg/l; 0,5 mg/l; 0,1 mg/l; dan
0,01 mg/l dalam etanol absolut. Sebanyak 100 l larutan uji ditambahkan
1,0ml larutan DPPH 0,4 mM dan etanol hingga 5ml. Campuran selanjutnya divortex
dan dibiarkan selama 30 menit . Larutan ini selanjutnya diukur absorbansinya
pada panjang gelombang 517 nm. Dilakukan
juga pengukuran absorbansi blanko. Hasil penetapan antioksidan dibandingkan
dengan vitamin C. Besarnya daya antioksidan dihitung dengan umus :
% penghambatan
= (Absorbance blanko – Absorbance sampel) x 100 %
Absorbance blanko
IC50 dihitung dengan dengan memplot
grafik aktivitas scavenging dengan
konsentrasi ekstrak, yang didefinisikan sebagai total antioksidan yang
dibutuhkan untuk menurunkan konsentrasi DPPH sampai 50 %.
Tahap
yang terakhir yaitu uji aktivitas Antibakteri. Uji aktivitas antibakteri
dilakukan dengan metode difusi agar , seperti yang dilakukan oleh Nostro et al (2000) yang dimodifikasi, yaitu : Masing-masing
ekstrak yang diperoleh sebanyak 2 g
dilarutkan dalam dimetilsulfooksida (DMSO) hingga 10 ml. Dari larutan stok dibuat pengenceran bertingkat dengan
konsentrasi 20% ,10%, 5%, 2,5%, 1,25%.
Masing-masing larutan uji dipipet 5 l
diteteskan ke paper disc, kemudian diletakkan di atas media Muller Hilton
Agar yang telah mengandung mikroba uji
0,1 ml transmitan 25 % atau setara dengan 108 koloni/ml.
Setelah itu diinkubasi selama 24 jam suhu 37OC.
Bahan yang digunakan dalam penelitian
ini adalah kulit buah kakao segar dan kulit buah kakao yang telah dikeringkan, dengan
asumsi proses pengeringan dapat mengubah komposisi polifenolnya sehingga diharapkan
dapat mempengaruhi aktivitas antimikroba dan antioksidannya. Cairan
pengekstraksi yang digunakan yaitu etanol 70% yang diasumsikan dapat mengekstraksi
senyawa-senyawa flavonoid atau tannin yang teikat sebagai glikosida.. Sedangkan
pelarut aseton-air (7:3) sangat baik untuk mengekstraksi tannin
terkondensasi(anonim, 2007).
Pada pengujian aktivitas antioksidannya
digunakan DPPH sebagai radikal bebas yang memiliki panjang gelombang maksimum
517 nm.. Aktivitas penangkap radikal bebas (proton) diketahui salah satu mekanisme untuk mengukur aktivitas
antioksidan (Othman et al, 2007). Pada ekstrak dari kulit buah kakao kering,
baik ekstrak etanol maupun ekstrak aseton tidak memperlihatkan adanya aktivitas
antioksidan Sedangkan pada ekstrak dari
kulit buah kakao segar, baik ekstrak etanol maupun asetonnya memperlihatkan
aktivitas antioksidan. Tidak adanya aktivitas antioksidan dari kulit buah kakao
yang dikeringkan, hal ini disebabkan selama pengeringan komponen-komponen
polifenolnya kemungkinan mengalami oksidasi oleh enzim polifenol oksidase yang juga
terdapat pada buah kakao. Hasilnya seperti terlihat pada tabel 1. Sebagai pembanding digunakan asam askorbat (vitamin
C) yang diketahui mempunyai aktivitas antioksidan. Hasilnya dapat dilihat pada
tabel 2.
Dari
hasil penelitian, terlihat bahwa aktivitas antioksidan dari ekstrak aseton lebih
tinggi dibandingkan ekstrak etanol. Menurut
Figuera (1993), kulit buah kakao mengandung campuran flavonoid/tannin terkondensasi
atau terpolimerisasi, seperti antosianidin, katekin, leukoantosianidin yang
kadang-kadang terikat dengan glukosa . Pelarut aseton-air (7:3) optimal
mengekstraksi tannin terkondensasi
(Anonim, 2007). Dari hasil pengukuran aktivitas antioksidan menggunakan
metode DPPH kemudian dilakukan perhitungan dengan menggunakan
analisis probit,. Hasil perhitungan menunjukkan
bahwa aktivitas antioksidan dari ekstrak
aseton (IC50 = 0,08mg/ml) lebih tinggi dari ekstrak etanol
(IC50 = 0,48 mg/ ml) maupun vitamin C (IC50 = 0,15 mg/ml).
Hasil uji aktivitas antibakteri menunjukkan bahwa
ekstrak aseton dari kulit buah kakao kering
tidak memberikan aktivitas antibakteri.
Sedangkan pada ekstrak aseton buah kakao segar memberikan aktivitas antibakteri
mulai pada konsentrasi 5 % (250µg/disc),
10% (500 µg/disc), dan 20 % (1000 µg/disc ). Sedangkan ekstrak etanol dari sampel
segar mampu menghambat pada konsentrasi
20 % (1000 µg/disc), Sedangkan ekstrak etanol sampel kering mampu menghambat
dimulai pada konsentrasi 5 % (250 µg/disc).
Dari penelitian juga terlihat aktivitas antibakteri
dari ekstrak etanol sampel basah lebih kecil dibanding ekstrak etanol sampel kering,
hal ini mungkin disebabkan oleh adanya senyawa pektin yang ikut terekstraksi menggunakan
sampel kulit buah kakao segar. Senyawa pektin dapat terekstraksi pada larutan etanol
di bawah 70 %, sedangkan kadar air pada sampel segar tidak diketahui. Dari
empat bakteri uji yang digunakan ternyata Streptococcus mutan yang paling
sensitif terhadap senyawa antibakteri dalam kulit buah kakao, hal ini sesuai
penelitian Pasiga (2006) dan Matsumoto
et al., (2004) bahwa ekstrak kulit buah kakao mempunyai aktivitas antibakteri
terhadap Streptococcus mutan secara in
vitro maupun in vivo. Bakteri ini merupakan penyebab terjadinya karies gigi.
Dari
penelitiaan tersebut dapat diketahui bahwa kondisi optimal untuk mengekstraksi komponen
antioksidan-antimikroba dari kulit buah kakao adalah menggunakan bahan segar dan
dengan cairan pengekstraksi aseton-air (7:3). Ekstrak aseton kulit buah kakao
segar memiliki aktivitas antioksidan dengan IC50 0,08mg/ ml dan aktivitas antibakteri terhadap
S. Mutan dengan diametr hambatan 10,2 mm
pada konsentrasi 1000 µg per disc.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim., 2007, Tannin:
Chemical Analysis. Polyphenol flavonoid/tannin analysis. htm , diakses 14 April 2007.
Borchers, A. T., Keen,
C. L., 2000, Cocoa and Chocolate: Composition, Bioavailability, and Health
Implication. Journal of Medicinal
Food., 3(2): 77-105.
Figueira, A., and
Janick, J., 1993, New products from Theobroma cacao: Seed pulp and pod gum. New
crops., New York, 475-478.
Schmitz, H.H., 2005, Cocoa Antioxidant and Cardio vascular
Health. Am. J. Clin. Nutrition., 81(1): 298S-303S.
Lamuela-Raventos, R.
M., Romero-Perez, A. I., Andres-Lacueva, C. and Tornero, A., 2005, Review:
Health Effects of Cocoa Flavonoids .Food Science and Technology International
., 11(3): 159-176.
Lee, K.W.,
Kim,Y.J., Lee, H.J., Lee, C.Y., 2003, Cocoa has More Phenolic Phytochemical and Higher
Antioxidant Capacity than Teas and Red Wine. J.Agric. Food. Chem., 51(25) : 7292- 7295
Nostro, A,
Germano, M.P. , D'Angelo, V. ,Arino, A., and
Cannatelli, M.A.,2000 ,Extraction Methods And Bioautography For
Evaluation Of Medicinal Plant Antimicrobial Activity. Letters in Applied Microbiology.,
30, 379-384
Osawal, K., Miyazakil, K. , Shimura, I., Okuda, J., Matsumoto, M and Ooshima, T., 2001, Identification of
Cariostatic Substances in the Cacao Bean
Husk: Their Anti-glucosyltransferase and Antibacterial Activities. Dent.
Res., 80(11):2000-2004
Othman, A.,
Ismail, A., Ghani, N.A., Adenan, I., 2007,
Antioxidant Capacity and Phenolic Content of Cocoa Bean. Food Chemistry.,1523-1530.
Pasiga, B.,
2006, Diversifikasi Manfaat Kakao sebagai Komponen Aktif Pasta gigi. Disertasi.
. Program Pascasarjana UNHAS, Makassar.
Weisburger, J.
H., 2001, Chemopreventive Effects of
Cocoa Polyphenols on Chronic Diseases. Experimental Biology and Medicine . ,
226: 891-897.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar